Usai maghrib, hujan kecil jalanan sisi barat lapangan terbang Pondok Cabe sangat sepi. Dari jarak sepuluh meter aku melihat sesosok pria mengenakan jaket dan celana jin. Tangan kanan menenteng kantong plastik warna gelap.Aku sengaja memperlambat laju kuda besiku.
"Pak, mau ke depan? Ayo Bareng!"Aku memberanikan diri menawarinya tumpangan.
"Boleh" Jawabnya singkat. Rintik hujan makin menambah suasana menjadi dingin.
"Bapak mau kemana?" Tanyaku sedikit menyelidik.
"Mau naik angkot" Jawabnya masih singkat.
Maklum sisi barat lapangan terbang jalannya terhubung dengan jalan raya yang dilewati angkutan perkotaan jurusan Parung-Lebak Bulus (pp), Lebak Bulus-Pamulang (pp). Aku berpikir Bapak itu akan naik jurusan Pamulang atau Lebak Bulus.
"Bapak mau kemana?" Tanyaku lagi.
"Saya mau naik angkot jurusan parung" jawabnya lagi.
"Wah, kalau begitu bareng saja Pak, saya mau pulang ke Bogor juga" Kataku .
"Saya tinggal di sekitar jalan baru" Aku semakin menerocos.
"Kebetulan, saya juga pulang ke Bogor. Saya tinggal di Bantar Kambing" Sahutnya.
"Saya antar Bapak sampai Rumah Sakit Atang Sanjaya, kebetulan sekali, saya akan mampir kerumah teman di belakang rumah sakit" Jawabku bersemangat.
Rasanya ini semua serba kebetulan. Aku pun makin riang. Semoga saja, ajakanku berbuah kebaikan.
Aku tahu, ini beresiko. Pertama, aku membonceng orang tanpa helm. Jika ada hal-hal yang tak terduga aku salah. Kedua, aku membonceng orang yang belum sama sekali aku kenal. Bila orang itu jahat, akan mudah sekali memperdayaku.
Perjalanan malam itu sangat dingin, sepanjang jalan di iringi gerimis.
"Bapak tak mengapa naik motor sambil hujan seperti ini?" Tanyaku memastikan diri.
"Nggak apa-apa" Jawabanya.
"Baik, kalau begitu saya jalan pelan-pelan saja ya pak!" kataku.
Satu jam lebih kami menyusuri jalan, selama itu pula kami larut dalam pembicaraan.
Akhirnya, saya tahu sosok Bapak itu. Namanya Pak Maman. Umurnya sekitar 45 tahun. Sehari-hari berjihad demi keluarga dengan berjualan singkong di sekitar Pondok Cabe. Pulang ke Bogor 3-4 hari sekali, tergantung dari hasil berjualan. Selama berjualan ia tinggal bersama seorang kakek yang di kenalnya dijalan. Tinggalnya di sekitar empang tak jauh dari tempat ia berjualan. Tujuh bulan lalu istrinya meninggal karena sakit. Ia memiliki empat orang anak. Sulung berusia tiga belas tahun, kedua sepuluh tahun, ketiga tujuh tahun dan bungsu baru empat tahun.
"Kalau bapak jarang pulang siapa yang mengurus anak-anak?" Tanyaku penasaran.
"Ya yang paling besar mengurus adik-adiknya. Kalau si sulung sekolah mereka dititipkan ke tetangga dan kerabat" Jelasnya.
Berat rasanya aku manarik nafas mendengar Pak Maman bercerita. Sambil mengendarai 'kuda jepang', tak terasa mataku berkaca-kaca. Aku membayangkan, aku adalah Pak Maman atau aku menjadi anak Pak Maman.
Ia menceritakan, saat ia pulang anak-anak riang tak terkira.Bukan karena dibawakan oleh-oleh mainan atau jajanan, namun karena sosok ayah yang mereka rindukan jarang pulang. Terlebih sejak sang Ibu telah tiada. Saat Pak Maman di rumah, anak yang paling besar di berikan waktu lebih untuk sekedar bermain bersama teman sebaya. Dua hari di rumah cukup bagi Pak Maman. Saat paling berat tiba saat ia harus berpisah sementara dengan anak-anak. Sering kali Pak Maman harus pergi saat ke-empat anaknya tertidur pulas, karena bila tahu bapaknya pergi mereka akan menangis. Kadang itu yang membuatnya agak berat. "Namun harus bagaimana lagi? Hidup harus terus jalan kan?" Kata Pak Maman lirih.
Tak terasa, perjalanan kami harus berakhir.
"Maaf Pak, saya hanya bisa antar bapak sampai disini. Semoga Bapak dan anak-anak ikhlas, tabah menerima ini semua. Semoga saat anak-anak besar nanti mereka mendapatkan kemuliaan dan dapat mengangkat derajat keluarga" Kataku sambil berjabat tangan.
"Amin. Terima kasih atas tumpangan dan do'anya, kalau lewat Pondok Cabe mampir ya? Kita bisa ngobrol lagi." Jawabnya tegar. Kami berpisah masih dalam suasana gerimis.
.......
Andai a ... a ... a ... aku jadi orang kaya ...
Teringat sepotong lirik lagu Ophie Andaresta.
.......
Ingin sekali aku bisa mendukung dan menyantuni orang-orang seperti sosok Pak Maman yang berjihad bagi tegaknya keluarga. Bagi yang di dera persoalan hidup, tak benar bila beban hidup yang berat hanya miliknya saja. Semua orang merasakan dengan cara dan kadar berbeda.
Aku bersyukur bisa bertemu dan berinteraksi dengan sosok Pak Maman. Aku harus lebih bersyukur atas apa yang aku rasakan saat ini. Aku masih bisa berkumpul dengan keluarga, dan masih lengkap.
Selasa, 14 Desember 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
3 komentar:
alangkah indahnya bisa berbagi..thanx mas tulisannya..
salam kenal ...nice posting
Hidup ini perjuangan, jangan lupa bersyukur atas karunia Nya dan berbagi berkat kepada orang yang berkekurangan. Amin
Posting Komentar