Jumat, 31 Oktober 2008

Waspada Jakarta

BERITAJAKARTA.COM - 11-10-2008

Setiap tahun warga Jakarta selalu dicemaskan datangnya banjir musiman. Ini tidak mustahil, sebab kota Jakarta hampir 40 persennya merupakan daerah cekungan. Tak hanya itu, beberapa sungai dan kali juga telah mengalami pendangkalan. Karena itu, perlu penanganan secara menyeluruh. Upaya ini tidak mudah, sebab Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak mungkin menangani senidiri, melainkan harus berkoordinasi dengan daerah penyangga seperti Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur.

Karena itu penanganan banjir di DKI Jakarta membutuhkan waktu yang sangat panjang. Diperkirakan penyelesaian banjir bisa memakan waktu selama 25 tahun ke depan. Upaya ini harus dilakukan secara berkesinambungan dan perencanaan yang matang. Tentu, semua ini harus didukung juga dengan pendanaan yang memadai. Penanganan banjir di DKI Jakarta sendiri sejatinya telah diupayakan sejak tahun 1970-an dan sampai saat ini masih berlangsung. Beberapa upaya yang dilakukan diantaranya, merencanakan pembangunan situ di daerah hulu, menyelesaikan pembangunan banjir kanal timur (BKT), dan membangun sistem folder.

Indratmo Soekarno, Ketua Kelompok Keahlian Sumberdaya Air Institut Teknologi Bandung (KKSDA-ITB), Sabtu (11/10), menjelaskan, banjir merupakan fenomena alam karena tingginya curah hujan dan tidak cukupnya kapasitas badan air (sungai ataupun saluran drainase) untuk menampung dan mengalirkan air.

Faktor-faktor penyebab banjir di ibukota ini adalah kondisi daerah aliran sungai (DAS) yang memburuk, terjadinya sedimentasi tebal pada badan-badan air serta kondisi waduk, danau, dan situ sebagai penahan air semakin tidak berfungsi. Faktor penyebab lainnya yaitu urbanisasi yang tinggi, sehingga mengurangi daerah resapan. Belum lagi, 40 persen daerah Jakarta berada di bawah permukaan air laut atau cekungan. Jadi, anggapan banjir dapat diatasi dalam waktu yang singkat merupakan pandangan yang salah. Tanpa ada penanganan menyeluruh, banjir tetap merupakan fenomena periodesasi yang akan terus berulang.

Karena itu, Indratmo menyatakan banjir tahunan di DKI Jakarta tidak dapat dikendalikan dalam satu atau dua tahun. Namun bukan berarti tidak dapat diselesaikan, tindakan yang bisa dilakukan Pemprov DKI Jakarta dalam jangka pendek antara lain mengurangi volume banjir di kawasan-kawasan rawan banjir. "Bohong kalau orang bisa menghilangkan banjir di Jakarta dalam satu tahun, itu berat sekali. Sebab, penyebab banjir di Jakarta ada dua komponen yakni curah air dari hulu dan banjir lokal yang disebabkan indikasi drainase kota yang jelek," paparnya panjang lebar.

Sedangkan penanganan secara menyeluruh, Indratmo, mengatakan, banjir tahunan di Jakarta bisa dikelola melalui penanganan pengelolaan banjir secara terpadu (PBST), baik secara teknis dari hulu ke hilir hingga melibatkan peran serta masyarakat. Jadi tidak bisa secara parsial atau sepotong-sepotong. Secara teknis, penanganan di hulu bisa dimulai dengan melakukan reboisasi atau penghijauan dan membangun waduk/situ. Sedangkan, di hilir dengan membangun sistem folder dan melakukan normalisasi sungai dan saluran drainase. "Sungai itu harus dipelihara dan pemeliharaannya membutuhkan dana yang tidak kecil. Itu pun harus ada yang dikoordinasikan dengan pemerintah pusat," tambah dia.
"Bohong kalau orang bisa menghilangkan banjir di Jakarta dalam satu tahun, itu berat sekali. Sebab, penyebab banjir di Jakarta ada dua komponen yakni curah air dari hulu dan banjir lokal yang disebabkan indikasi drainase kota yang jelek"
- Indratmo Soekarno, Ketua Kelompok Keahlian Sumberdaya Air ITB
Secara periodesasi, normalnya sungai hanya mampu menampung debit air selama dua tahun. Jika dalam dua tahun itu tidak ada pengerukan maka sungai akan mengalami pendangkalan. Karena itu, perlu pengerukan secara berkala, minimal dua tahunan. "Di Jakarta, sampah dan sedimentasi lumpur mengakibatkan debit air di sungai semakin kecil, sehinggga ketika terjadi hujan sedikit saja akan meluap," katanya kepada beritajakarta. com.

Karena itu, Indratmo sangat menyayangkan, sikap sebagian warga Jakarta yang tidak setuju terhadap program pengerukan sungai dan kali, apalagi pembagunan waduk dan situ (ditambah dengan mental buruk warga Jabodetabek sendiri yang menganggap sungai dan kali sebagai bak sampah mereka). Secara logika, ini sangat naif. Sebab, Indonesia merupakan negara yang curah hujannya sangat tinggi. Dan untuk kota Jakarta sendiri, ini penting. Sebab, letak kota Jakarta berada di dataran rendah, sedangkan daerah penyangga merupakan daerah dataran tinggi. Jika tidak dikendalikan, air hujan akan langsung mengalir ke hilir tanpa ada halangan.

Di samping itu, Pemprov DKI juga harus membangun folder tertutup yang harus dilengkapi pompa air di sekitar titik-titik rawan banjir. Sehingga ketika terjadi luapan debit air, pompa-pompa dapat bekerja memompa air keluar. Kemudian perlu memberikan mitigasi bencana yaitu melakukan tindakan early warning system kepada masyarakat. Karena bencana banjir beda dengan gempa. Banjir bisa terdeteksi 5-6 menit sebelumnya. "Saya melihatnya, Pemprov DKI serius menangani banjir. Namun, barangkali anggaran yang ada tidak mencukupi untuk mengatasi masalah secara cepat," ujar dia.

Pengendalian banjir, menurut Indratmo, tidak dapat diserahkan sepenuhnya kepada Pemprov DKI Jakarta. Tetapi, perlu ada pemberdayaan masyarakat. Misalnya, membuat sumur resapan dan membuat lubang biopori agar air hujan bisa langsung meresap ke dalam tanah. Dengan tindakan tersebut, berarti memungkinan setiap rumah membentuk zero out flow. Artinya selama hujan air ditampung di daerah sendiri.

Hal lain yang bisa dilakukan mengimbau masyarakat agar tidak membuang sampah di sungai, kali, dan saluran drainase di pemukiman serta tidak menggunakan air tanah seenaknya. "Masyarakat punya kewajiban memelihara sungai sebagai drainase alam, jangan membuang sampah di sungai atau kali. Karena itu akan menyebabkan pendangkalan," tegas dia.

Tidak ada komentar: